Kepribadian Tokoh Utama dalam Cerpen Sisik
Naga Di Jari Manis Gus Usup Karya M. Shoim Anwar
Karya sastra
fiksi merupakan sebuah gambaran kehidupan masyarakat. Fiksi adalah kebenaran
yang sesuai dengan keyakinan pengarang, kebenarabn yang telah diyakini keabsahannya
sesuai dengan pandangannya terhadap masalah hidup dan kehidupan (Nurgiyantoro,
2010:5).
Dalam kehidupan
bermasyarakat, manusia sering disuguhkan dengan berbagai masalah yang
menyangkut jiwanya. Namun, tidaklah mudah untuk mengetahui proses kejiwaan
tersebut. Oleh karena itu, diperlukan penelitian terhadap gejala kejiwaan
karena gejala tersebut merupakan perwujudan atau penjelmaan dari kehidupan
jiwa.
Psikologi
merupakan ilmu yang membicarakan tentang jiwa. Namun, jiwa itu sendiri tidak
tampak. Jadi, yang dapat dilihat atau di teliti ialah perilaku atau aktivitas
yang merupakan manifestasi atau pengalaman kehidupan jiwa. Sehubungan dengan
hal tersebut, diperlukan suatu kajian
terhadap karya sastra yang dapat dilakukan dengan menggunakan salah satu
disiplin ilmu yaitu psikologi sastra (Walgito, 2004:9-10).
Pengalaman dan
tingkahlaku manusia dapat digambarkan lewat tokoh rekaan dalam karya sastra.
Minderop (2011:1) mengatakan bahwa tokoh rekaan ini menampilkan berbagai watak
dan perilaku yang terkait dengan kejiwaan dan pengalaman psikologis atau
konflik-konflik sebagaimana dialami oleh manusia di dalam kehidupan nyata.
Identidikasi
masalah perlu ditetapkan terlebih dahulu untuk memudahkan dan mengetahui
kemungkinan masalah yang timbul dalam penelitian. Cerpen Sisik Naga Di Jari Manis Gus Usup
Karya M. Shoim Anwar dapat dianalisis dengan alasan : 1) Cerpen
sisik naga di jari manis Gus Usup
karya M. Shoim Anwar mengisahkan kepribadian tokoh utama yang suka bermain judi
dengan bantuan kelebihan batu yang dia miliki sehingga menjadi seorang yang
hebat di lingkungannya, 2) melalui cerpen sisik naga di jari manis Gus Usup karya M. Shoim Anwar ini
sudut yang tidak terduga untuk menampilkan kisah inspriratif tentang
karakteristik tokoh utama sehingga sangat menarik untuk dikaji menggunakan
kajian psikologi kepribadian.
Teori psikologi kepribadian melahirkan konsep-konsep seperti
dinamika pengaturan tingkahlaku, pola tingkahlaku, model tingkahlaku dan perkembangan
tingkahlaku. Sasaran utama psikologi kepribadian adalah memperoleh informasi
mengenai tingkah laku manusia. Karya sastra, sejarah dan agama bisa memberikan
informasi berharga mengenai tingkahlaku manusia.
Heymans (dalam Suryabrata, 2007:70-74) berpendapat bahwa
manusia memiliki beranekaragam kepribadian dan memiliki dasar klasifikasinya
dalam tiga bentuk kualitas kejiwaan yaitu : emosionalitas, proses pengiring,
dan aktivitas.
Dalam cerpen ini
tergambar dengan jelas bagaimana masyarakat menghormati Gus Usup. Cerpen ini
tergolong kepribadian “bijaksana” masuk kedalam golongan yang proses
pengiringnya kuat dan diberi tanda (+). Proses pengiring merupakan sedikit atau
banyaknya pengaruh dari kesan tersebut tidak lagi dalam alam kesadaran manusia.
Berikut ini kutipannya.
Ketika dia melintas di jalan, orang-orang menyapanya dengan
penuh rasa hormat, sedikit membungkukkan badan, menanyakan mau ke mana, hingga
mempersilakan mampir ke rumah. Sebuah kehormatan luar biasa bila Gus Usup
berkenan singgah dan menyeruput kopi yang kami suguhkan. Tentu saja ini jarang
terjadi. Gus Usup menjawab sapaan kami dengan tersenyum sambil terus mengayuh
sepedanya.
“Assalamu’alaikum, Gus,” begitulah kami menyapa
ketika beliau lewat. Salam itu dijawabnya dengan sopan pula.
“Mampir dulu, Gus.”
“Inggih, terima kasih,” jawabnya lembut.
Gus Usup bukanlah orang
sembarangan. Itulah pandangan kami selama ini.
Dari
pengambaran secara tidak langsung pengarang atau indirekte charakterisierung yaitu melalui tingkah laku dari tokoh
utama ini menunjukkan kebijaksanaannya ketika berhadapan dengan orang lain sehingga tidak merugikan orang lain yang ada
disekitarnya. Dan menggambarkan bahwa Gus Usup memang sosok yang dihormati. Gus
Usup sosok yang ramah dan mudah akrab terhadap warga. Dilihat dari jawaban Gus
Usup yang tidak sombong terhadap sesame, Gus Usup seorang yang bijaksana dan bisa dijadikan panutan oleh warga
disesanya.
Cerpen ini juga tergolong
kepribadian “praktis” yang masuk ke dalam emosionalitas yang tinggi dan diberi
tanda (+). Emosionalitas merupakan mudah atau tidaknya akibat dari kesan yang
ditimbulkan. Kesan tersebut merupakan perasaan dan penghayatan yang dimiliki
manusia. Kata praktis merupakan deskripsi sesuatu kebiasaan seseorang atau
menjadi suatu hal yang khas dalam diri seseorang. Pernyataan tersebut terlihat
jelas pada kutipan cerpen berikut ini.
Gus Usup terbilang tampan. Wajah dan kulitnya kuning
bersih. Rambutnya selalu dipotong pendek. Karena tak pernah memakai kopiah, rambut
bagian depan yang agak panjang terlihat ikal menggelombang. Alisnya cenderung
tebal. Dia tak pernah memelihara kumis dan jenggot, tapi tepat di bagian bawah
bibirnya terdapat rambut yang dibiarkan tumbuh hingga membentuk gerumbul yang
manis di wajahnya. Sering dia mengangkat ujung sarung hingga sebatas dengkul
saat berjalan. Bulu-bulu keriting kelihatan tumbuh lebat di kakinya yang
kuning. Mungkin karena ketampanannya itulah Gus Usup menjadi anak kesayangan Bu
Nyai.
Dari kutipan tersebut
pengarang menggambarkan secara tidak langsung. Kondisi tokoh Gus Usup yang pada
awalnya adalah seorang lelaki yang tinggal di lingkungan pondokan. Warga yang
tinggal di daerah sekitar pondokan tersebut sangat memperhatikan seorang Gus
Usup.
Dari kondisi fisik Gus
Usup adalah seorang lelaki yang tampan, serta memiliki wajah dan kulit yang
kuning bersih. Dan cara berpakaiannya Gus Usup itu ia menggenakan pakaian
sangat sopan. Karena Gus Usup sangat memperhatikan kebersihan dan juga kerapian
sehingga Gus Usup terlihat sosok lelaki yang tampan. Dari cara berpakaiannya
itu dapat di lihat ia seorang yang praktis karena ia menggenakan sarung sebatas
dengkul sehingga Bulu-bulu keriting kelihatan
tumbuh lebat di kakinya yang kuning. Dari tingkah laku Gus Usup tersebut di gambarkan
bahwa enggan tidak mau memanjangkan sarungnya karena agar terlihat sosok lelaki
yang gagah.
Kepribadian Gus Usup
tidak hanya memiliki wajah yang tampan memlainkan Gus Usup juga pernah menjadi
anak nakal ketika usianya masih kecil. Oleh karena itu, ia di marahi. Berikut
kutipannya.
“Sejak anak-anak, Gus Usup itu suka main
dengan anak-anak kampung,” cerita Guk Mat sebagai teman sepermainannya.
“Apa
kesukaannya, Guk?” kami bertanya.
“Menghanyutkan
diri dengan rakit dari batang pisang, lalu mandi bersama-sama di Kali Dam
sambil belajar renang gaya sungai,” lanjut Guk Mat sambil memperagakan renang
gaya sungai. “Gus Usup juga suka mencari batu-batu kecil di dasar sungai.”
“Untuk
apa batu?”
“Katanya
itu batu akik.”
“Kalau
ketahuan keluarga pondok, Gus Usup dimarahi apa nggak, Guk?”
Guk
Mat tersenyum. Sepertinya dia memang punya kenangan masa kecil yang seru dengan
Gus Usup.
“Ya,
sering. Gus Man itu, kakaknya yang paling besar, sering mencarinya. Gus Usup
diseret pulang kalau ketahuan
mandi di sungai. Makanya kalau habis mandi Gus Usup nggak berani langsung
pulang.”
“Kenapa,
Guk?” kami makin ingin tahu.
“Kalau
habis mandi di sungai mata pasti merah warnanya. Makanya kalau pulang harus
nunggu lama sampai nggak merah lagi. Tapi itu dulu,” kata Guk Mat. “Sekarang
Kali Dam sudah tercemar sampah dan limbah.”
Kutipan diatas termasuk kepribadian kesadaran perasaan. Dikatakan demikian karena apabila
dicermati tuturan tersebut menggambarkan seorang Gus Usup tidak suka bergaul
dengan anak kampung. Gus Usup sering menyindiri dan bermain di sungai untuk mencari batu yang mirip
seperti batu akik. Dengan kebiasaan Gus
Usup tersebut Gus Usup tidak berani pulang ketika di ketahuan mandi di sungai
pasti akan di marahi. Oleh karena itu, ketika Gus Usup mandi di sungai menunggu
mata Gus Usup tidak merah agar tidak ketahuan.
Seiring dengan perkembangan
tingkahlaku dan usia kepribadian
Gus Usup yang nakal sejak kecil telah menghilang. Akan tetapi, Gus Usup memiliki kepribadian ketidaksadaran
yang dengan tiba-tiba kepribadian itu menjadi kebiasaan sehari-hari Gus Usup. Berikut kutipannya.
Inilah
satu kebiasaan lain Gus Usup. Kami hampir selalu melihat dia menggigit-gigit
benda kecil semacam tusuk gigi hingga kedua rahangnya bergerak-gerak. Sering
dia menggapai ranting-ranting kecil ketika berjalan, atau bagian-bagian
tertentu dari pagar bambu di tepi jalan yang dilewatinya untuk digigit-gigit
menggantikan yang telah habis di bibirnya. Mohon maaf kalau perumpamaan kami
tidak tepat. Kesukaan Gus Usup menggigit-gigit lidi itu mirip kebiasaan burung
labet yang hendak bersarang.
Berdasarkan kutipan di atas, Gus Usup memiliki kepribadian
ketidaksadaran. Ketidaksadaran tersebut, membuat Gus Usup aneh. Karena
Gus Usup sering menggigit tusuk gigi seperti
kebiasaan burung labet yang ingin bersarang.
Dalam
cerpen ini juga menceritakan tentang
Gus Usup yang tidak pernah kalah dalam permainan kartu. Warga
masyarakat percaya bahwa cincin akik
yang bergambar sisik naga di jari Gus Usup itulah yang membuat dia tidak
terkalahkan. Cerpen
ini menggambarkan kepribadian “tidak pantang menyerah” masuk kedalam kualitas
kejiwaan aktivitas. Aktivitas merupakan cara menyatakan diri dengan perasaan
dan pemikiran yang spontan dan kepribadian ini masuk kedalam golongan yang
aktif dan di beritanda (+). Dari penggambaran secara tidak langsung dapat
dilihat dari tidak pantang menyerah tokoh utama dengan keberaniannya menantang
teman-temannya. Berikut kutipannya.
“Ngandang!” kata Gus Usup sambil membuka semua
kartu di tangannya dengan cekatan, diletakkan di lantai. Benar, kali ini dia
memenangkan permainan. Diraupnya uang recehan yang menumpuk di tengah karena
sudah lima kali putaran belum ada yang memenangkan. Yang lain cuma
manggut-manggut kecut. Dengan sigap Gus Usup kembali mengocok tumpukan kartu
dan membagikan kepada para pemain.
“Sisik naga dilawan,” kata Cak Nan sambil meraih gelas
kopi.
“Giliranku menang.” Wak Marsud menepuk-nepuk sisik naga di
jari Gus Usup. Gus Usup hanya tersenyum.
“Habis recehan saya, Gus,” kata Guk Mat.
“Masih sore kok sudah habis,” Gus Usup menimpali. “Tukarkan!”
Semua yang bermain mengerti
apa yang dimaksud Guk Mat. Mereka berharap Gus Usup membagikan kembali uang
yang telah dimenangkan. Dan memang demikianlah. Mereka yang bermain dengan Gus
Usup boleh dibilang tak pernah kalah atau merugi.
Kondisi pada
saat itu menggambarkan bahwa Gus Usup terus berusaha walau berkali-kali putaran
sehingga uang recehannya sampai habis dia terus berusaha dan dia terus
memenangkan permainan tersebut. Sehingga teman-teman Gus Usup heran melihat Gus
Usup dan saling bertanya-tanya kenapa Gus Usup selalu yang memenangkannya.
Dalam cerpen ini
teman-teman Gus Usup sangat heran melihat Gus Usup. Berikut kutipannya.
Uang
recehan Guk Mat sudah benar-benar habis. Beberapa kali putaran dia tidak pernah
memenangkan permainan kartu remi itu. Gayanya membanting kartu sudah tampak
bahwa dia agak kesal karena belum pernah nyirik. Sementara dia melihat di depan
Gus Usup uang recehan mengumpul sebagai bukti kemenangan. Tiba-tiba Gus Usup
pamitan ke belakang. Dia minta permainan dilanjutkan saja. Hari memang semakin
beranjak malam. Semua pemain juga sudah pernah pamit ke belakang untuk kencing.
Dengan sedikit terburu-buru Gus Usup masuk kembali dan melemparkan jaketnya ke
Guk Mat.
“Titip
sebentar, biar tidak basah!” kata Gus Usup.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa teman-teman Gus
Usup heran melihat Gus Usup terutama guk mat. Guk mat disini
memiliki kepribadian kesadaran perasaan. Guk Mat tampak kesal karena tidak
pernah memenangkan permainan kartu, selalu saja yang memenangkannya Gus Usup.
Tiba-tiba di tengah-tengah permainan yang sedang berlangsung, Gus Usup berhenti
bermain karena ingin ke toilet. Gus Usup tiba-tiba melemparkan jaket ke arah
Guk Mat dan masuk ke toilet kembali, sehingga tidak dapat berkonsentrasi dengan
permainan kartu diakibatkan perutnya yang sakit.
Dari sisi lain Gus Usup juga
memiliki kepribadian ”suka menolong” masuk kedalam golongan yang proses
pengiringnya dan diberi tanda (+). Proses pengiring merupakan sedikit atau
banyaknya pengaruh dari kesan tersebut tidak lagi dalam alam kesadaran manusia.
Dari penggambaran secara langsung dapat dilihat rasa suka menolong dari tokoh
utama dapat dilihat dari kutipan dibawah ini.
Mungkin juga tak pernah benar-benar menang. Di akhir
permainan, atau ketika lawannya sudah kehabisan uang, Gus Usup akan memberikan
kembali uang itu. Mereka lama-lama merasa sungkan. Ketika Gus Usup kalah dan
kehabisan uang, mereka pun memberikan kembali uang modal kepada Gus Usup. Akik
sisik naga di jari manis Gus Usup akhirnya menjadi harapan mereka, karena kalau
Gus Usup menang pasti uangnya akan dibagikan kembali.
Dari kutipan tersebut
digambarkan bahwa tokoh utama ingin menolong teman-temannya. Pada saat itu
sedang bermain remi dengan teman-temannya Gus Usup telah memenangkan permainan
itu berkali-kali sehingga uang recehan teman-temannya berangsur habis. Dengan
melihat kondisi Gus Usup selalu membagi-bagikan uang recehan hasil
kemenangannya itu di bagikan kepada teman-temannya agar permainan tersebut
terus berjalan.
Dari cerita
cerpen ini juga menggambarkan bahwa Gus Usup disaat bermain ia menggenakannya.
Pada saat di pertengahan permainan Gus Usup tiba-tiba perutnya sakit sehingga
jaket Gus Usup dilemparkan Gus Usup
ke arah Guk Mat sangatlah tidak terawat. Tetapi, dari jaket itulah Guk Mat pada
akhirnya mendapatkan keuntungan dalam permainan kartu. Perhatikan kutipan
berikut.
Jaket
tentara warna hijau yang sudah memudar itu berada di pangkuan Guk Mat, baunya
apak kayak karung karena mungkin sudah lama tak dicuci. Permainan berlangsung
terus meski harus melangkahi giliran Gus Usup. Sampai satu putaran usai Gus
Usup belum juga kembali. Entah mengapa kali ini lama. Dari tadi memang Gus Usup
tampak kurang nyaman sambil memijit-mijit perutnya.
Berdasarkan kutipan di atas menggambarkan bahwa kepribadian Gus Usup
ini memiliki kepribadian “praktis” yang bertanda (-) mengapa dikatakan demikian
karena pakian yang dikenakan oleh Gus Usup tidak pernah di cuci sehingga
warnanya sampai memudar dan berbauk apek. Di samping itu Gus Usup juga memiliki
kepribadian ke tidak tenangan dalam bermain. Karena pada pertengahan permainan Gus
Usup menderita sakit perut dan akhirnya Gus Usup berpamit untuk pulang. Dan
teman-temannya pada saat Gus Usup pamit pulang teman-temannya terlihat sangat
senang sekali mengapa demikian. Karena tidak ada yang akan mengalahkan lagi dan
teman-temannya berharap ia yang akan memenangkannya. Perhatikan kutipan
berikut.
“Mumpung
tak ada Gus Usup. Menang!” kata Guk Mat dengan yakin.
“Aku
yang harus menang,” Cak Kamal menimpali.
“Jangan
mulai dulu. Kita tunggu Gus Usup datang,” usul Cak Nan.
“Kan
kita disuruh terus tadi?” Kang Marsud ingin berlanjut.
“Gak
enak ah!” sergah Cak Nan.
“Lanjuuut…!”
Guk Mat tak mau membuang-buang waktu. Kartu remi itu dikocok dengan cepat.
Diletakkan di tengah, barangkali ada yang mau mengocok lagi karena tidak puas.
Tidak ada. Guk Mat segera membagikan kartu itu satu per satu. Permainan pun
berlanjut. Ketika semua asyik mencermati kartu, Gus Usup muncul dan pamitan
pulang dengan terburu-buru. Tanpa menunggu tanggapan dia langsung pergi dengan
mengucapkan satu kalimat pendek, “Perutku nggak enak.” Uang recehannya juga
ditinggal.
Berdasarkan kutipan di atas, Guk Mat memiliki kepribadian kesadaran
perasaan. Perasaan Guk Mat digambarkan dengan ketidak sabaran karena terlalu
menunggu lama Gus Usup yang sedari tadi ke toilet tidak keluar-keluar.
Permainan akhirnya terus berjalan, ketika mereka sedang asyik bermain kartu
tiba-tiba Gus Usup datang dan langsung pergi dengan mengucapkan bahwa perutnya
sedang sakit.
Tanpa kehadiran Gus Usup permainan bukan makin mengendor, tapi makin
bersemangat. Mereka tidak lagi bertaruh dengan recehan, uang kertas yang tadi
hanya ngendon di saku kini keluar dengan warna-warninya. Permainan kali ini
bukan sekadar cari hiburan atau menghabiskan waktu, tapi benar-benar mempertaruhkan
nasib untuk meraih kemenangan. Perhatikan kutipan berikut.
Tiap
rentetan peristiwa pasti mencapai puncaknya. Titik kulminasi terjadi bukan
tiba-tiba, tapi mengalir dengan pasti, seperti suhu pada tungku pembakaran yang
mendidihkan air. Begitu juga permainan kartu kali ini. Mereka yang kehabisan
modal telah tersingkir. Tidak ada lagi pembagian recehan seperti kalau bersama Gus
Usup. Kopi-kopi di tempatnya sudah tinggal ampas dan memadat. Ayam berkokok
sudah terdengar. Mungkin sebentar lagi beduk subuh ditabuh. Di arena permainan
itu menyisakan tiga orang: Guk Mat, Cak Kamal, dan Kang Marsud. Mereka yang
tersisih kini sebagai penonton saja. Sudah lima putaran belum ada yang
memenangkan. Sementara tiap ganti putaran uang taruhan selalu ditambahkan.
Berdasarkan kutipan di atas, setiap peristiwa akan mencapai puncaknya.
Titik tertinggi itu berawal dari proses dan mengalir dengan pasti. Pemainan
kartu kali ini seperti itu, sebagian dari mereka sekarang hanya sebagai
penonton sehingga tidak lagi memiliki modal karena kalah dalam bermain. Kini
permainan itu yang bertahan hanyalah tiga saudara tersebut.
Inilah pertaruhan nasib di titik-titik akhir. Sudah tak ada lagi
taruhan yang ditambahkan. Dompet-dompet sudah terkuras. Tampak mereka makin
berkonsentrasi. Mereka yang menonton juga berharap cemas. Ingin tahu siapa yang
berhasil meraup uang yang menumpuk di tengah arena itu. Perhatikan kutipan
berikut.
Seperti
juga memancing. Ada debaran dan harapan agar ikan segera menggondolnya. Ikan
itu kali ini tidak lain adalah kartu remi. Mata mereka makin membuka. Jantung
mereka makin mendebar. Alir darah mereka juga makin menderas. Beberapa putaran
kartu-kartu yang mereka buru juga belum ketemu. Sepertinya mereka saling
mengetahui kartu-kartu yang diburu sehingga dicengkeram makin rapat. Waktu
makin merambat dengan pasti. Kokok ayam makin kerap terdengar.
Berdasarkan kutipan di atas, tersisalah tiga orang yang bermain kartu.
Mereka harap-harap cemas hingga kokok ayam makin terdengar, mereka tetap sibuk
dengan bermain kartu. Untuk terakhir kalinya dalam permainan ini, uang mereka
terkuras habis sehingga mereka tampak berkonsentrasi dan sama-sama saling ingin
menang dalam permainan kartu ini.
Semua kartu yang dipegang dibanting ke lantai dengan terbuka. Kali
pertama Guk Matlah yang menang dalam permainan kartu ini. Perhatikan kutipan
berikut.
Guk Mat
teringat, di tengah permainan tadi dia juga sempat menyembunyikan uang
kemenangan di saku jaket Gus Usup yang dipakainya. Uang itu segera dikeluarkan.
Ah, jumlahnya makin banyak pula. Kantong saku jaket sebelah kiri telah
dirogohnya. Kini dia berganti merogoh saku jaket sebelah kanan. Terasa ada
benda aneh di tangannya. Segera dikeluarkan. Guk Mat terjingkat. Sisik naga!
Akik Gus Usup itu ternyata ikut tertinggal di saku jaketnya. Entah ini
disengaja atau tidak oleh Gus Usup. Mata Guk Mat tak berkedip melihatnya. Ada
getaran di jemarinya.
Berdasarkan kutipan di atas, Guk Mat memiliki kepribadian kesadaran
perasaan. Perasaan Guk Mat digambarkan dengan perasaan curang karena telah
menyembunyikan uang di kantonf sebelah kiri jaket Gus Usup. Tidak puas dengan
kantong kiri, dirogoh kembali kantong sebelah kanan, ternyata di dalamnya
terdapat cincin akik sisik naga yang entah sengaja ditinggalkan Gus Usup atau
memang tertinggal di kantong jaket tersebut. Tapi, secara pasti Guk Mat
berpikir kalau kemenangan dirinya hari ini berkat sisik naga Gus Usup.
Dipakailah akik tersebut dan ada getaran di jemarinya.
Dari beberapa kutipan yang telah dipaparkan, cerpen Sisik Naga di Jari Manis Gus Usup ini memiliki
kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dalam cerpen ini adalah M. Shoim Anwar
mengangkat cerita ini berdasarkan peristiwa atau fenomena sosial yang sering
terjadi antara kehidupan keluarga pondokan dengan warga masyarakat yang
terjalin begitu harmonis dan begitu menghormati satu sama lain. Sedangkan kekurangan
dalam cerita cerpen ini adalah ketidak jelasan akik sisik naga yang di peroleh Gus
Usup sehingga pembaca menjadi penasaran dan untuk akhir cerita sisik naga Gus
Usup ini kurang menarik karena ceritanya membuat pembaca penasaran tentang
rencana jahat yang di lakukan oleh Guk Mat terhadap akik sisik naga yang
dimiliki oleh Gus Usup.
Daftar Pustaka
Nurgiyantoro,
Burhan. 2010. Teori Pengkajian Fiksi.
Yogyakarta: Gajah Mada Univerity Press
Sumardjo,
Jakob dan Saini. 1997. Apresiasi
Kesusastraan. Bandung: PT. Gramedia Pustaka Prima
Suryabrata,
Sumadi. 2007. Psikologi Kepribadian.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
Walgito,
Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum.
Yogyakarta: Andi